Kekayaan: Antara Hak dan Pengendalian Diri

Oleh : R. Graal Taliawo

gambar pinjam Google

gambar pinjam Google

Ketimpangan kepemilikan kekayaan masyarakat Indonesia sungguhlah mencolok. Di tengah kemiskinan akut, segelintir pengusaha—juga sebagian politisi di DPR—hidup dalam kemewahan. Miliaran dollar Amerika Serikat (AS) ada di kantong pribadi mereka. Bahkan, sebagian di antaranya mendapatkan kekayaan dari hasil bisnis “racun” yang dilegalkan: rokok!

Majalah Forbes (edisi 23/11/2011) menempatkan Budi Hartono dan Michael Hartono sebagai orang terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan US$14 miliar (sekitar Rp124 triliun). Yang kalau dirata-rata penghasilan pemilik PT. Djarum itu per hari adalah Rp345 miliar. Peringkat kedua adalah bos PT. Gudang Garam (US$10 miliar, sekitar Rp91 triliun). Kekayaan Susilo Wonowijoyo mengalami kenaikan Rp1,3 triliun dari tahun 2010.

Peringkat berikutnya (ke-9) adalah Putera Sampoerna dengan total kekayaan US$2,4 miliar. Dan Aburizal Bakrie berada pada posisi ke-30 dengan total kekayaan US$890 juta. Selain empat pengusaha ini, masih ada 36 pengusaha dengan kekayaan ratusan juta dollar AS. Paling rendah, di urutan ke-40 yakni US$630 juta.

Pada referensi etis benar-salah (etika deotologis), tentu menikmati hasil jerih lelah sendiri tidaklah salah. Persoalan kita adalah, ukuran etis suatu tindakan tidak melulu diukur melalui benar-salah. Menurut ahli etika Eka Darmaputera (2001), ada ukuran lain, yakni tepat-tidak tepat: etika kepantasan (pantas-tidak pantas) atau etika kontekstual.

Karena kontekstual, maka tentu sifatnya relatif. Artinya, ukuran kepantasan tindakan kita diukur oleh realitas kehidupan (sosial) di sekitar kita. Bagaimana dengan konteks masyarakat Indonesia—tempat di mana tindakan etis (memiliki dan menikmati kekayaan) ini diambil?

Menurut Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Media Indonesia, 30/11/2011), rata-rata penghasilan orang Indonesia hanya Rp85.000. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan jumlah penduduk miskin dengan pendapatan US$1 per hari, di Indonesia hingga Maret 2011 tercatat 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari total penduduk. Tetapi jika menggunakan standar Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan pendapatan US$2 per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 59 persen. Itu artinya, ada setengah dari jumlah penduduk Indonesia yang berpenghasilan US$2 per hari.

Selain itu, potret hidup mayoritas masyarakat melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2011 juga masih buruk. Posisi Indonesia melorot dari peringkat ke-111 dari 182 negara menjadi ke-124 dari 187 negara. IPM mengklarifikasi kualitas hidup rakyat suatu negara melalui tiga indikator sebagai ukuran, yaitu kualitas dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

Kepemilikan kekayaan beberapa pengusaha di atas nampaknya menjadi ironi sosial, akhirnya menjadi tidak etis. Ini tidak berlebihan, mengingat kualitas hidup mayoritas masyarakat Indonesia (konteks kita) masih jauh dari kehidupan yang pantas. Berbeda jauh dibandingkan dengan apa yang dimiliki dan dinikmati oleh para pengusaha itu.

Bung Hatta: kepemilikan berfungsi sosial

Muhammad Hatta, salah satu proklamator, bukan saja memiliki gagasan cemerlang soal ekonomi yang berkeadilan (sosialisme religius), bahkan Bung Hatta—panggilan lain Muhammad Hatta—sendiri secara konsisten adalah orang yang menjalankan idealisme itu.

Hidup sederhana, berkecukupan, dan tidak berlebihan adalah praktek yang kita temui dalam keseharian hidup Bung Hatta. Padahal, bukan saja Bung Hatta, tetapi hampir sebagian besar para pendiri bangsa ini, memiliki kesempatan untuk hidup mewah. Mereka mempunyai hak untuk kaya, namun bedanya mereka enggan menggunakan hak itu. Mampu mengendalikan tawaran hidup berkelimpahan, mereka sanggup menahan diri untuk tidak hidup mewah, serta enggan untuk bergelimpanggan harta.

Hidup serta pemikiran Bung Hatta itu tercermin dari cita-cita pembangunan ekonomi Indonesia merdeka yang digagasnya. Bagi Bung Hatta, nilai-nilai Pancasila sejatinya tepat dan seharusnya mendasari tatanan kehidupan bangsa ini, termasuk dalam bidang ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial. Nilai-nilai Pancasila macam apa itu?

Secara umum, pemikiran ekonomi Bung Hatta mengarah pada bagaimana menegakan dan menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Dan untuk mencapai itu, menurut Bung Hatta, harus ada jiwa dan semangat tolong-menolong antarwarga masyarakat (Anwar Abbas, 2010).

Kata lain, ekonomi negara ini hendak dibangun di atas dasar kebersamaan yang mengandalkan sikap gotong-royong, saling tolong-menolong dan ber-ukhuwah mengutaman kerja sama (cooperation), bukan mengandalkan persaingan (free competition). Itulah mengapa bunyi Pasal 33 UUD 1945, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama (bukan individu: monopoli) berdasar atas asas kekeluargaan.”

Selain itu, bagi Bung Hatta, pembangunan yang ada juga haruslah diorientasikan pada;  adanya etik dan moral agama, bukan materialisme (Ketuhanan Yang Maha Esa); tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi manusia (kemanusiaan yang adil dan beradab); kekeluargaan, kebersamaan, nasionalisme dan patrotisme ekonomi (Persatuan); mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak (Karakyatan); serta persamaan, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang (keadilan sosial).

Prinsip ekonomi Pancasila, yang kemudian dikenal sengan sosialis religius ini, adalah bentuk penolakan Bung Hatta terhadap dua gagasan besar ekonomi di kala itu: kapitalisme dan sosialisme marxisme. Dua gagasan ini ditolak, sebab keduanya dinilai “sekuler” dan sama-sama mendewakan individu (anthropocenrism).

Walau demikian, bukan berarti di negeri ini memiliki kekayaan adalah pelanggaran. Bagi Bung Hatta, kekayaan individu tetap bisa ada, namun haruslah berfungsi sosial. Bahwa “semua orang boleh mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Miliknya itu dijamin, tidak boleh dirampas dengan semena-mena. Tetapi jika hak miliknya tidak dipergunakan untuk kepentingan umum sedangkan masyarakat menghendakinya, pemerintah berhak menggunakannya untuk itu” (Ekonomi Terpimpin, 1979).

Artinya, kepemilikan terhadap harta benda adalah hak yang dilindungi oleh negara. Setiap individu yang ada di negeri ini boleh memiliki kekayaan sesuai dengan kapasitas ekonominya. Namun, itu tidak berarti kekayaan yang dimiliki bisa digunakan melulu demi kepentingan pribadi. Kepemilikan itu tidak bersifatabsolut, sehingga haruslah berfungsi sosial: dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat luas.

Pengendalian diri

Selain itu, jelas terlihat bahwa semangat Pancasila menempatkan pengendalian diri sebagai hal yang penting. Pengendalian diri macam apakah pada konteks kepemilikan ini?

Acap kali atas nama hak, kita mengambil keuntungan dan miliki kekayaan berlebih, lalu melakukan pembenaran terhadapnya melalui kegiatan bantuan sosial: berbagi sedikit keuntungan. Kita sesekali membagikan keuntungan kepada mereka yang dianggap membutuhkan. Itu pun tidak seberapa jumlahnya dibandingkan dengan hasil yang kita dapatkan. Tindakan ini tidak salah, namun praktek demikian tidak membuktikan kita berhasil mengendalikan diri.

Berbagi sedekah bukan pula bentuk pengendalian diri yang sesungguhnya. Pengendalian diri yang dimaksud harus tercermin dalam tindakan lain, bahkan lebih mendasar, yakni menahan diri untuk tidak mengambil keuntungan yang terlalu banyak, walaupun kemampuan untuk itu dimungkinkan.

Secara sederhana, wujud pengendalian itu bisa dijelaskan seperti ini: ada seorang (warga negara) yang berbisnis dan (kalau mau) mampu mengambil keuntungan hingga 100 milliar, tetapi dia tidak mengambil semua potensi keuntungan itu. Dengan sadar Ia menyisihkan 90 milliar (sisanya misalkan) bagi yang lain. Dia tidak mengambil seluruhnya  (100 miliar itu) karena sadar bahwa ada saudara-saudara lainnya yang juga membutuhan. Dia melakukan itu supaya orang lain bisa ikut bekerja mendapatkan dan menikmati. Bukan karena hukum yang melarang, bukan pula karena aturan yang memaksanya, tetapi semata-mata tindakan itu ia lakukan karena ada referensi moralitas yang menuntun dan mengendalikannya dalam bertindak.

Dari sisi etis benar-salah (etika deotologis), seseorang mengambil keuntungan, memiliki, dan menikmati kekayaan dalam jumlah tertentu adalah benar. Namun di saat yang sama, referensi etis pula (etika kontekstual: kepantasan) serta pengendalian diri agar tidak tamak, akan menuntun kita menjadi tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan bahkan menimbun kekayaan.

Tidak mengambil keuntungan berlebihan, walau kita dibolehkan bahkan memiliki kesempatan adalah sikap yang tidak mudah dilakukan. Kita akan dianggap payah dan bodoh oleh sebagian orang. Tapi percayalah, dengan sikap demikian keadilan sosial masyarakat itu bisa dicapai. Bahkan, sesungguhnya mengendalikan diri seperti ini adalah cerminan dari asas kekeluargaan serta religiusitas prinsip Ekonomi Pancasila kita.

http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/01/kekayaan-antara-hak-dan-pengendalian-diri-sebuah-refleksi-akhir-tahun/

Tentang Mertosanan Kulon

Kampung Mertosanan Kulon, desa Potorono, kecamatan Banguntapan, kabupaten Bantul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pos ini dipublikasikan di artikel umum. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar