Lagi, Kisah Kurban Terbaik

dari : mimbarjumat.com

Saat menjelang pelaksanaan Idul Kurban, kebetulan saya ditunjuk menjadi salah satu panitia Kurban di kantorku. Saat pulang kerja, saya bersama rekan pergi untuk membeli hewan Kurban di salah satu penjual hewan Kurban untuk membelanjakan hewan kurban dari dana yang dititipkan panitia kepada saya

Tiba di tempat penjual hewan Kurban, terlihat penjual hewan Kurban sangat sibuk melayani para pembeli yang datang. Begitu pula dengan para pembeli yang sibuk memilih dan menawar harga hewan Kurban yang terbaik untuk memenuhi seruan berkurban di hari raya nanti.

Saya pun terpaksa harus menunggu lama sambil melihat-lihat hewan Kurban yang ada di lokasi. Namun, diantara para pembeli yang sedang antri, mata saya tertuju pada seorang ibu tua yang sedang memikul bakul jualan berisi sapu lidi, kemoceng dan barang lainnya.

Terlihat dengan sabar, si ibu tua itu berdiri melihat-lihat para pembeli yang sibuk memilih hewan Kurban dan menawar harga kepada si penjual.

Setelah itu tiba giliran penjual Kurban melayani saya dan kawan panitia lainnya. Setelah memilih hewan Kurban dan harga yang cocok, lalu si penjual hewan Kurban itu mengambil kwitansi pembelian untuk saya.

Selagi menunggu si penjual Kurban membuatkan kwitansi, lalu saya pun menghampiri si Ibu tua tadi dan menanyakan apa keperluannya hingga rela berlama-lama menunggu di sana.

Dalam hati saya, mungkin si Ibu tua itu mau meminta sedekah dari penjual hewan Kurban itu. Namun, alangkah terkejutnya saya, ketika mendengar jawaban dari si ibu tua itu kalau dirinya juga ingin membeli hewan Kurban buat dikurbankan atas nama dirinya sendiri.

“Alhamdulillah Kasep (panggilan kasih sayang di daerah jawa barat), Ibu ini sudah beberapa tahun terakhir rutin membeli kambing Kurban,” ujarnya. “Bagaimana caranya Ibu dapat membeli kambing Kurban, kan pekerjaan Ibu hanya penjual kecil-kecilan?” tanyaku hati-hati kepada si Ibu tua.

Lalu, nggak berapa lama si Ibu tua itupun menjelaskan bahwa setiap hari dirinya menyisihkan seribu hingga dua ribu perak dari keuntungannya berjualan. “Alhamdulillah, kalau lagi laku banyak, Ibu suka menyisihkan tiga ribu sampe lima ribu perak kasep, tapi itu jarang sekali sep” lanjut si Ibu tua.

“Kalau sehari seribu, dua ribu, atau tiga ribu perak. Maka dalam setahun Ibu bisa ngumpulin uang sekitar 700 ribu lebih. Nah, jadi cukup buat beli kambing Kurban yang terbaik menurut ibu,” kata Ibu tua menjelaskan.

Duhhh? Nyess banget rasanya hati ini…saya pun hanya bisa terdiam mendengar cerita si Ibu tua itu. Jika si ibu tua itu saja dengan telatennya menyisihkan keuntungannya dalam berjualan setiap harinya demi keinginan besar untuk bisa berKurban setiap tahunnya.

Seharusnya, berarti tidak ada alasan bagi saya dan bahkan mereka yang kaya untuk tidak melaksanakan ibadah Kurban setiap tahunnya pula. Saya tidak perlu mengumpulkan uang bila ingin membeli kambing Kurban, seperti yang dialami si Ibu tua itu.

Apalagi penghasilan saya bisa dikatakan diatas rata-rata yang lainnya, bahkan tidak saja bisa membeli Kambing kurban, tapi saya pun seharusnya bisa membeli Sapi Kurban. Mungkin saya hanya perlu menahan keinginan untuk makan makanan mewah seperti fast food, nginap di hotel berbintang lima, nonton di bioskop 21 ataupun membeli accessories kendaraan lainnya.

Hal itulah yang jadi perenungan saya dalam setahun terakhir ini. Bila saja si ibu tua itu harus menyisihkan seribu, duaribu bahkan lima ribu perak dari hasil keringatnya memikul barang jualan setiap harinya, yang paling-paling hanya dapat untung 10 ribu sampe 20 ribu rupiah.

Maka, apakah saya sudah cukup berani dan lapang hati serta ikhlas untuk menyisihkan 10 persen dari penghasilanku setiap bulan untuk meraih cinta Allah dalam berkurban.

Sungguh aku belum bisa seperti si Ibu tua itu, yang dengan ikhlas menkurbankan hewan terbaiknya sesuai kemampuannya. Seharusnya pun saya bisa mengurbankan hewan kurban yang terbaik juga sesuai kemampuan saya.

Jujur saja, saya belum segagah si ibu tua itu, yang kuketahui namanya Ummi Kultsum, 71 tahun dengan 7 orang anak dan 18 cucu ini. Beliau juga sering menjual makanan kering, donat, risol, nasi uduk di rumahnya yang sederhana (cerita dari si Ibu tua).

Semoga Tahun ini kita bisa memberikan Kurban terbaik kita. Karena belum tentu kita akan bertemu dengan Iedul Kurban tahun depan.

http://mimbarjumat.com/archives/1259

Tentang Mertosanan Kulon

Kampung Mertosanan Kulon, desa Potorono, kecamatan Banguntapan, kabupaten Bantul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pos ini dipublikasikan di artikel agama. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar